Kemuliaan Bukan Faktor dari Keturunan
Pada masa Rasulullah ada dua orang yang saling mengatakan (membanggakan) leluhur mereka. Salah seorang dari keduanya berkata, “Aku fulan bin fulan, kamu siapa? Apakah kamu punya nasab? Mendengar hal itu, Nabi Muhammad tidak tinggal diam. Beliau secara tidak langsung memperingati mereka dengan sabdanya “Pada masa Nabi Musa, ada dua orang yang saling mengatakan (membanggakan) leluhur mereka. Salah satu dari keduanya mengatakan “Aku fulan bin fulan.” Hingga menyebutkan sembilan garis keturunannya. Dia berkata lagi, “Kamu siapa? Apakah kamu punya nasab?” Temannya itu menjawab, “Aku fulan bin fulan bin muslim,” lalu Allah memberi wahyu kepada Nabi Musa dengan berfirman, “Sesungguhnya dua orang yang saling mengatakan leluhur mereka ini, yang mengatakan hingga sembilan garis keturunannya mereka masuk neraka, dan kamu yang kesepuluh. Adapun kamu yang mengucapkan hingga dua garis keturunanmu mereka masuk surga dan kamu yang ke tiga juga masuk surga.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Andaikata Nabi Muhammad tidak tanggap atau hanya diam tidak menyikapinya, tentu yang terjadi adalah hukum boleh (tidak dosa) dalam membanggakan leluhur tersebut.
Leluhur dimiliki oleh setiap hamba, dan tidak bisa direncanakan dan di pesan oleh siapapun: apakah dia ingin menjadi keturunan dari orang mulia, tokoh, atau putra raja sekalipun. Oleh karena itu, kita tidak pantas jika bersedih dan merasa tidak berharga dengan alasan kita bukan keturunan orang yang tidak terpandang. Mengapa? Karena itu merupakan ketetapan dan kehendak Allah yang tidak bisa dipermasalahkan dan harus diterima dengan lapang dada. Islam menganggap, membanggakan leluhur merupakan perbuatan yang tercela, karena menyalahi sunnatullah dan fitrah manusia.
Sederhananya, tidak ada keistimewaan bagi golongan tertentu dengan cara melihat asal-usul leluhurnya, kecuali hanya mendapat imbalan dari perbuatan baik dan doa yang dilakukan pendahulunya.
Sebab itulah kita tidak pantas membangga-banggakan nenek moyang sendiri, karena kita tidak diciptakan dari emas ataupun perak, yang memiliki nilai begitu tinggi. Justru kita diciptakan dari air mani yang menjijikkan dengan berbagai proses yang kemudian menjadikan kita manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Lebih dari itu, membangga-banggakan leluhur dengan mencela orang lain karena nasabnya rendah dan tidak bermartabat, merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan hati nurani, serta menjadikan jiwa kotor dan busuk disebabkan keangkuhan. Selain juga akan menyebabkan berkobarnya api permusuhan dan kebencian di dalam tubuh masyarakat, yang kadang menyebabkan pertumpahan darah dan memutuskan hubungan saudara sesama muslim.
Akibat dari membanggakan leluhur itu akan menjadikan orang terpedaya dan terlena, selain juga menyebabkan orang tersebut menjadi pemalas dan tidak berilmu, serta menjahui amal shaleh.
Umat Islam harus sadar, bahwa membanggakan nasab atau leluhur termasuk panasnya api neraka. Kesombongan jahiliyah dan menbanggakan leluhur sebenarnya telah lenyap, yang ada adalah orang mukmin yang bertakwa dan orang fajir yang sengsara.
Maka, sesuatu yang mesti kita banggakan adalah akhlak yang mulia dan ilmu yang munpuni. Itu saja. Semoga kita dijauhkan dari sifat tersebut. [Redaksi}
Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Belum ada Komentar untuk "Kemuliaan Bukan Faktor dari Keturunan"
Posting Komentar