Mengemis itu Baik atau Tidak?
“Sekarang Mas, apa-apa serba menggunakan uang. Butuh ini harus menggunakan uang, butuh itu harus menggunakan uang, bahkan di kota ke kamar mandipun harus menggunakan uang”
Itulah sedikit keluh kesah dari salah satu pengemis yang saya temui dan tampa sengaja kami mengobrol tentang segala hal termasuk ngobrol mengenai pekerjaannya. Memang, kalo di lihat dari perkembangn dunia kali ini sudah pada era dimana segala sesuatu harus menggunakan uang, tidak seperti masa-masa terdahulu yang semuanya tidak harus menggunakan alat tukar berupa uang. Dulu kita masih mengenal sama yang namanya BARTER ( tukar menukar benda dengan benda lain yang nilainya di angap sama). Barter kala itu masih menjadi primadona dalam hal transaksi mereka.
Menurut Oscar Lewis, kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran- ukuran kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya sehingga terciptalah “budaya kemiskinan” (Suparlan, 1993:29-48). Hal ini senada dengan apa yang di katakana salah satu ahli disiplin ilmu sosiologi Bapak Khalili KN, guru sosilogi pesantren An-Nuqayah slah satu pesantren besar di Madura mengatakan bahwa uang tidak menjadi segalanya, namun hampir menjadi segalanya. Karena hal itulah banyak masyarakat di Negara ini mengalami himpitan ekonomi dan tak sedikit pula dari mereka yang menjadi pengangguran, bukan hanya factor itu yang menjadi penyumbang angka pengguran di negeri ini. Masih ada factor lain, salaha satunya ketidak cukupannya lapangan pekerjaan,angka PHK yang semakin meningkat setiap tahunnya dan masih banyak yang lainnya.
Tak sedikit dari mereka yang melakukan pekerjaan apupun untuk menjadi penopang dan pelanjut hidup mereka, ada yang kerja serabutan, memulung, bercocok tanam dan yang lebih tragis mengemis dipandang baik (halal) untuk menjadi pekerjaan meraka. Orang yang mengemis (pengemis) tidak sedikit dari mereka kita temui di berbagai titik kota-kota besar seperti di jakata, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, ada yang di pasar-pasar, lampu merah dan pusat-pusat keramaian lainnya.
Namun bukan tidak ada dari meraka yang mengemis di jadikan pekerjaan sampingan lantaran pekerjaan utama mereka dipandang tidak menghasilkan penghasilan yang memuaskan atau karena pekerjaan merka itu musiman. Dan jangan heran seandainya jalan kesalah satu daerah yang terkenal dengan sebutan “desa pengemis” tidak sedikit anda akan temui rumah-rumah yang besar dan kokoh berdiri dengan megahnya bahkah sampai lengkap denagn fasilitas lainnya seperti alat kendaraan berupa mobil. Tidak salah jika anda berfikir jika semua kemewahan itu di peroleh dengan cara mengemis.
Di Madura tepatnya di kabupaten paling timurnya, di sana ada sebuah desa yang di juluki sebagai “desa pengemis” tidak heran kenapa di sana dijuluki sebagai desa pengemis, karna memang di sana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai pengemis, bukannya tidak ada pekerjaan lain, namun mereka lebih mengandalkan pekerjaan itu dari pada pekerjaan musiman meraka (bercocok tanam) atau pekerjaan lainnya. Daerah yang biasa di jadikan tempat meraka mengemis biasanya tidak terlepas dari pulau jawa, namun tidak jarang pula dari mereka yang nekat mengadu nasib dengan mengemis ke luar pulau jawa seperti bali, Sumatra, aceh, Kalimantan, dan masih banyak temapat dan derah lainnya. Namun yang terbayak biasanya di pulau jawa, bali, Sumatra dan Kalimantan. Kalo sudah di bilang tempat itu masih jarang orang kayak gitu (mengemis) maka tempat itu menjadi tempat strategis bagi mereka dalam hal mengemis.
Pasti pembaca sekalian heran kenapa hanya dengan mengemis bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas mewah seperti itu, padahal pekerjaan meraka hanya mengemis? metode apasih yang mereka gunakan sehingga mendapatkan hasil yang menjanjikan bahkan memuaskan?
Metode meraka berfariasi dalam menjalankan usaha meraka (mengemis) bukan hanya sekedar duduk di pinggir jalan dan mengadahkan tangan saja, tidak. Ada di antara meraka yang menggunakan motode atau berkedok sebagai penagih amal masjid,anak yatim piatu, dan biasanya mereka berpakain rapi serta menggunakan map amplop sebagai senjata uama. Ada juga yang menggunkan jasa anak sewaan, cacat yang di buat-buat dan yang paling miris menurut saya adalah ada di antara meraka yang menggunakn cacat asli fisiknya sebagai modal mengemis mereka.
Masalah hasil jangan di Tanya lagi kalo sudah tau berbagai cara meraka dalam mengemis. Kalo lagi mujur ada salah satu nara sumber kami mengatakan biasanya sampai dapat 2-5 jutaan tiap bulannya untuk yang menggunakan jasa map, kalo yang mengguanakan metode nongkrong di jalan-jalan atau di pusat keramaian lainnya biasanya tiap bulanya 4-7 jutaaan tiap bulannya.
Aparatur Negara sebenarnya mengetahui denga budaya mengemis ini, namun mereka hanya memberikan tindakan berupa peraturan yang melarang mereka mengemis tampa memberikan solusi nyata akan permasalahan ini. Walaupun tidak bisa mengahapus budaya ini aparatur Negara masih bisa menekan angka pengemis dengan memberikan lapanga pekerjaan yang menjanjikan bagi mereka, sehingga meraka tidak perlu lagi mengandalkan pekerjaan itu untuk menjadi penopang utama meraka dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-harinya.
Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Belum ada Komentar untuk "Mengemis itu Baik atau Tidak?"
Posting Komentar